IT'S TIME BACK TO VILLAGE (kata lain dari "pulang ke rumah")


Dulu waktu kuliah saya pernah menulis sebuah tugas mengenai arsitek populis. Saat itu pikiran saya langsung tertuju ke Y.B Mangunwijaya yang pernah mendapat penghargaan Aga Khan  mengenai karya arsitektur untuk kaum marjinal di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Menulis sosok romo Mangun sebagai arsitek yang populis menjadi sangat mainstream karena banyak orang pernah menulis tentang sosok beliau. Maka, saya mencari sosok arsitek populis lain lewat google karena saya tidak banyak tau mengenai arsitek Indonesia waktu itu (kecuali : Pak Pipik, Pak Eko Prawoto, Pak Baskoro Tedjo, Ridwan Kamil, Adi Purnomo, Ahmad Djuhara, Budi Pradono, Raul Renanda, Yori Antar dan Andra matin) yang saya lihat populis. Arsitek yang saya kenal, saya anggap mereka starchitect dan tidak memakai caping (topi petani) seperti romo Mangun. 
Setelah saya googling, saya menemukan nama arsitek rumah murah namanya mas Yu Sing (yang sekarang juga jadi Starchitect, lihat aja facebooknya :p). Saya penasaran dengan rumah murah karena rumah murah adalah impian semua orang baik itu yang ekonomi bawah sampai atas. Kalangan ekonomi atas menginginkan rumah murah karena biar ngirit duit, beda dengan kalangan ekonomi "jongkok" yang menginginkan rumah murah karena benar-benar tidak punya uang yang cukup untuk membuat rumah. Saya pernah membantu mikir desain warung makan kecil di desa saya yang budgetnya cuma 300 ribu rupiah dan hanya cukup untuk beli seng bekas 10 lembar. Material lainnya, "malak" tetangga atau saudara dan bisa juga potong bambu di kebun. 

Kembali lagi ke mas Yu Sing. Karena penasaran mengenai "brand" rumah murah, saya mencari bukunya di Gramedia. Saya menemukan buku rumah murah di Gramedia tetapi saya tidak membelinya, cukup meminjam teman saja (spirit "ngirit"). Saya baca kata pengantar mengenai mimpi mas Yu Sing untuk membuat rumah murah selama dia berkarya menjadi arsitek. Saya melihat mimpi mas Yu Sing ini harus dicontoh oleh banyak arsitek dan profesi lain, agar arsitek dan profesi lain memiliki visi dan misi yang populis di samping karya mereka yang membahana. Saat ini saya sudah banyak tahu arsitek yang berkarya untuk sesama disamping karya mereka yang keren. Yori Antar dengan rumah asuhnya, pak Eko Prawoto dengan rekonstruksi desa Ngibikan, Shigeru Ban dengan paper tube-nya membuat rumah-rumah penampungan bagi korban bencana alam, begitu juga dengan Toyo Ito dan arsitek-arsitek keren lainnya.
Saya mulai tergerak untuk memiliki mimpi dan tujuan yang sangat idealis tetapi baik, yaitu berkarya menjadi arsitek di desa(Mencontoh pak Gede Kresna). Mimpi ini hanya sekedar mimpi sebelum saya bertemu mas Singgih Susilo Kartono, Founder Magno Wooden Radio, yang menjadi trigger untuk mewujudkan mimpi tersebut. Satu setengah tahun yang lalu saya baru kenal dekat dengan mas Singgih, padahal saya sudah tau mas Singgih bertahun-tahun yang lalu melalui teman saya yang melihat Kick Andy. Saya terlambat sekian "detik" dari Muh Darman untuk mengunjungi mas Singgih padahal rumah saya dekat dengan rumah mas Singgih (hanya 5 menit kalau pakai sepeda motor, tanpa macet seperti di Jakarta). Mas Singgih mengajak saya untuk pulang ke desa dan berkarya di desa. Ajakan mas Singgih bukan sekedar ajakan, tetapi pemaksaan dengan membuat saya sibuk berkarya di desa. Mas Singgih meminta tolong saya untuk membuat desain rumah karyawan Magno yang bernama Marsudi. Mas Yu Sing dan saya berkolaborasi untuk mendesain rumah Marsudi. Desain akhirnya tidak jadi diaplikasikan karena masalah waktu, Marsudi sudah ingin membangun padahal desain belum fix. Setelah itu, saya mendapat tawaran mendesain Kedai Kedu Susu dari teman mas Singgih yang bernama mas Henry. Lalu berlanjut ke desain rumah Kelingan untuk homestay SPEDAGI (yang akhirnya di desain Errik dengan Ide dan Konsep pak Eko Prawoto), mendesain ruang serbaguna di Pondok Pesantren Dusun Balun, dan desain homestay SPEDAGI desa Kandangan dan dusun Balun. Ajakan mas Singgih untuk kembali ke desa saya tanggapi dengan menjadi relawan The 1st International Conference on Village Revitalization. Trigger dari mas Singgih ini harus saya lanjutkan untuk berkarya menjadi arsitek di desa seperti pak Gede Kresna (guru). Membantu desa untuk mendapatkan jati dirinya melalui arsitektur. Banyak keuntungan berkarya di desa, kemungkinan kekurangannya yaitu "kurang keren". Tantangan berkarya menjadi arsitek di desa yaitu berkomunikasi dengan masyarakat yang sudah banyak terkontaminasi dengan "estetika rumah sinetron". Di desa tidak ada Kontraktor, jadi arsitek tugasnya bukan cuma menggambar saja. Desain dan gambar itu nomor 3, yang paling utama adalah komunikasi dengan pemilik rumah dan tukang. Tetapi arsitektur juga bukan yang utama, arsitektur adalah bagian kecil untuk mengembalikan desa pada kodratnya. Melalui program di SPEDAGI saya berharap bisa membantu merevitalisasi desa.




Kedai Kedu Susu



Kedai Kedu Susu
 
Omah Yudhi, Desain : Singgih & Nico





Omah Yudhi. Desain : Singgih & Nico. Landscape : Yudhi
Omah Tani. Desain : Singgih, Errik & Nico
Kedai Kedu Susu




















































Komentar

Postingan Populer