NGOPI DARI RUMAH KOPI MUKIDI SAMPAI DI WARUNG KOPI SRINTHIL

Awal agustus setelah lebaran, saya mengajak Hilda (kakak) dan Dita (sepupu) pergi ke rumah kopi Mukidi. Sudah beberapa kali saya ke rumah kopi Mukidi untuk sekedar ngobrol dan menikmati kopi. Saya meminta pak Mukidi untuk mengajak kami pergi ke kebunnya yang berada di lereng Gunung Sumbing. Nama kebunnya "sekethekan" karena disana banyak monyet atau dalam bahasa jawanya "kethek". Saya berharap dapat melihat monyet atau kera yang ada disana.
Jalan ke kebun tersebut masih berupa jalan batu "trasah", yang saya pikirkan sepanjang perjalanan adalah ketekunan penduduk desa dalam membuat jalan tersebut hingga ke kebun mereka yang jauhnya sekitar 6-7 KM (mungkin lebih). Jalan batu yang tidak halus dan bergelombang membuat saya tidak nyaman dalam berkendara apalagi dibelakang "mboncengin" Dita. Tanjakan tajam membuat Dita turun dari sepeda motor hingga 2 kali karena sepeda motor tidak kuat menanjak walau menggunakan sepeda motor yang bertenaga sekalipun. Jalur perjalanan yang tidak biasa membuat saya tidak cukup lihai mengendarai sepeda motor dibanding petani-petani tembakau yang selalu berpapasan atau menyalip. Mereka, petani tembakau, sangat lincah dan cekatan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Beberapa motor dimodifikasi untuk menyesuaikan jalan trasah menanjak dan mudah untuk membawa hasil panen mereka.
Dita sejak awal sudah terpukau dengan pemandangan lembah dan lereng gunung Sumbing. Dia juga sempat meng-capture moment bagus disaat petani mengendarai sepeda motor dengan membawa tembakau dan diatas tumpukan tembakau tersebut istrinya duduk dengan tenang. Setelah memarkir sepeda motor, kami menuju kebun kopi sekethekan. Pak Mukidi menunjukan kebun tersebut kepada kami, dan itu membuat kami ragu untuk pergi kesana karena berasa sangat jauh. "Sekitar 15 menit kalau saya kesana", kata pak Mukidi memberi penjelasan untuk menyemangati kami.
Menuju kebun kopi milik pak Mukidi butuh perjuangan. Kami harus melewati jalan setapak yang disalah satu sisinya adalah jurang dan harus berbagi dengan para petani tembakau yang datang dari arah berlawanan. Sesampai di kebun, saya melihat tanaman kopi yang tumbuh diantara tanaman tembakau. Jenis kopi arabica yang ditanam di kebun tersebut yang kira-kira luasnya lebih dari 1 hektar. "Wah, kalau disini dibangun gubuk untuk menikmati kopi sambil melihat pemandangan sepertinya menyenangkan", kata pak Mukidi. Seketika saya mengangguk sependapat dengan pak Mukidi. Ngopi di lereng gunung diatas kebun kopi akan menjadi pengalaman ngopi yang luar biasa. Sejenak kami mengumpulkan kembali tenaga untuk perjalanan pulang ke rumah kopi Mukidi.
Sesampainya kami di rumah kopi Mukidi, kami ngobrol sambil meminum kopi dan memakan makanan lebaran yang masih tersisa di toples. Dita tidak suka kopi, hanya saya dan Hilda saja yang meminum kopi lanang arabica Wonotirto. Rasanya menyenangkan bisa mengeksplorasi konsistensi pak Mukidi untuk menjadi pengrajin kopi.
Perjalanan ngopi saya belum selesai. Lanjut pergi ke rumah sepupu saya, Dita, untuk mandi dan makan siomay sekaligus bertemu keponakan yang baru saja pulang liburan. Di rumah Dita kami berdiskusi tentang kegiatan yang sedang dan pernah kita lakukan selama ini. Dita saat ini sedang mengerjakan Minne, Minne adalah ilustrasi keberagaman budaya di Indonesia yang dituangkan dalam cover notebook atau postcard. Bisa klik di link ini minneindonesia. Dita juga memberi referensi buku bernama Kinfolk, buku yang menurut saya cukup unik karena mengulas berbagai hal dari sisi yang berbeda atau tidak umum. Di edisi tentang rumah tinggal, Kinfolk mengulas rumah tinggal dari sisi penghuni dan kenyamanannya bukan dari sisi estetika dan bentuk yang biasa di ulas dalam buku arsitektur atau majalah rumah. Banyak ilustrasi fotografi dan ulasan yang bagus di Kinfolk.
Sore hari kami, masih dalam formasi yang sama, nongkrong di warung kopi di sekitar alun-alun Temanggung. Warung kopi Srinthil namanya, menyediakan menu kopi yang bijinya berasal dari kopi lokal Temanggung. Hilda, kakak saya, memesan kopi Vietnam Drip. Saya memesan Ekspresso single. Dita memesan es Coklat dan beberapa makanan kecil. Cukup nyaman kami duduk di luar ruangan dan membaca buku sembari menunggu pesanan. Tidak begitu lama, Vietnam Drip tersaji dan terlihat tetesan kopi memenuhi gelas kaca yang sebelumnya terisi susu kental manis. Ekspesso juga menyusul dengan menu lain. Menyenangkan melihat kopi lokal menjadi produk yang disajikan dengan cara lain. Warung Kopi Srinthil menggarap serius bisnis cafenya dengan membeli mesin ekspresso yang mumpuni untuk skala bisnis coffee shop. Menu lokal juga diangkat di warung kopi Srinthil, tetapi seharusnya sajian kopi dengan cara lokal juga bisa disajikan di cafe ini. Atau mungkin bisa menyajikan kopi dengan cara unik dan berbeda dari sajian kopi selama ini.
Saya berharap warung kopi menjamur di Temanggung dengan mengangkat kopi lokal sebagai konsumsi utama bukan kopi pabrikan. Ketika budaya minum kopi buatan lokal Temanggung semakin banyak, disaat itulah kopi Temanggung akan mulai dikenal. Yang diperlukan saat ini adalah konsistensi mulai dari petani sampai warung kopi.
Oya, setelah cukup lama ngobrol di kopi Srinthil yang asoyyy, kami mulai lelah dan memutuskan untuk pulang. Kegiatan hari itu sangat melelahkan, mulai dari hiking ke kebun kopi pak Mukidi sampai ngobrol di kopi Srinthil. Saya mendapat pelajaran banyak dari perjalanan sepanjang hari itu.




Pemandangan menuju kebun kopi pak Mukidi
















Berbagi jalan dengan petani Tembakau





















Dita dan Hilda melewati jalan setapak,sisi kiri jurang















Lanjut menikmati kopi di Srinthil

Komentar

Postingan Populer