BELAJAR


Hari rabu tanggal 7 Mei 2014, saya dan errik pergi ke Yogyakarta Hadiningrat untuk ikut diskusi mengenai sisi Humanis Romo Mangunwijaya. Pagi jam 6.30 berangkat dari Temanggung menggunakan sepeda motor dan di tengah jalan Temanggung-Magelang saya kehilangan jejak errik. Menunggu errik yang saya kira masih di belakang saya. Saya menunggu di depan rumah sakit jiwa Magelang. Cukup lama sekitar 10 menit di sana. Tiba-tiba harus melihat peristiwa anak kucing hitam yang tertabrak mobil. Sebelumnya saya akan mengambil anak kucing tersebut dari tengah jalan, dan ketika saya mendekati kucing dan akan mengambilnya tiba-tiba ada mobil lewat dengan kencang lalu kucing tersebut terlindas. Saya merasa bersalah dan merasa bodoh tidak menyingkirkan kucing yang telah mati itu dari tengah jalan.
Sampai di Muntilan, errik menelpon saya dan ternyata dia sudah jauh di depan saya. Errik menunggu saya di gapura Jawa Tengah. Kami lalu berlanjut ke tujuan yaitu ke hotel Santika, tetapi sebelumnya sepeda motor errik harus dititipkan di pom bensin setelah ban motornya kempes.
Setelah sampai dai hotel Santika, kami menuju ruang pertemuan tanpa undangan. Di sana ngopi dan mengisi perut kosong dengan makanan yang disajikan. Kegiatan seperti ini biasanya saya lakukan dengan errik dan teman-teman kampus dulu. Menghadiri seminar tanpa undangan atau istilahnya "menyusup" dan yang penting "makan gratis". Errik dan teman-teman saya dengan dalih saya anak kos, mereka berfikir saya kurang makan enak jadi wajib mengajak saya ke seminar-seminar atau diskusi yang berpotensi ada makanan enak.
Acara mengenang 15 Tahun wafatnya Romo Mangun dibawakan oleh moderator yang keren dan kocak yaitu mas Bandung Mawardi. Mas Bandung pintar mencairkan suasana dan pengetahuannya mengenai Romo Mangun sangat banyak. Pembicara pertama yaitu Romo Sudiarja, beliau mengungkapkan tentang humanisme dan pemikiran Romo Mangun. Romo Mangun membela kaum Marjinal yang tersingkir, beliau berani menentang kebijakan pemerintah orde baru yang tidak memihak masyarakat kecil. Misal dalam kasus Kedungamba dan Kali Code, Romo Mangun menemani masyarakat yang saat itu sendiri dan dalam posisi pasti kalah. Dengan menemani dan membantu menentang kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat tersebut, setidaknya memberi kebahagiaan, memberi harapan dan menunda kekalahan. Kehadiran Romo Mangun di tengah masyarakat Kedungamba dan Kali Code seperti misi Yesus yang sering blusukan mengajar dan hadir untuk orang miskin dan tersingkir. Tindakan Romo Mangun untuk kaum yang termarjinalkan ini seperti misi Gereja untuk kaum miskin. Ya, Gereja ada untuk kaum miskin dan tersingkir tidak seperti beberapa Gereja Katolik saat ini yang hadir megah karena banyak umat yang kaya disana. Dalam pemikiran Nasionalisme, Romo Mangun menolak jargon right or wrong my country, Romo Mangun memiliki nasionalisme yang terbuka dan konkrit. Romo Mangun sangat menaruh perhatian pada generasi 1928 yang melahirkan sumpah pemuda. Generasi 1928 berbeda dengan generasi 1945 yang lebih bersifat pragmatis dan militeristik, yang suka mengatur dengan komando.
Pembicara kedua Prof. Bakdi, seorang pengajar sastra UGM. Prof. Bakdi berbicara tentang karya sastra Romo Mangun seperti Burung-burung Manyar, Romo Rahadi, Burung-burung Rantau dan Trilogi Roro Mendut. Dari empat novel tersebut, Prof Bakdi menjelajah pikiran Romo Mangun. Prof Bakdi berpendapat, karya sastra Romo Mangun ini menghadirkan pemikiran Romo Mangun melalui pasemon, dengan simbol-simbol seperti Yesus yang mengajar dengan perumpamaan. Dalam Novel Burung-burung Manyar, disana dapat ditemui "Bahasa Indonesia ceroboh" atau menurut James Ridder dipandang sebagai "a Sloppy langguage".  Banyak kosakata Jawa di novel Burung-burung Manyar sehingga tidak mudah dipahami oleh pembaca yang belum pernah hidup di Jawa. Novel Burung-burung Manyar berlatar belakang kota kelahiran Romo Mangun yaitu Magelang dan sekitar Temanggung (ga mau ketinggalan :p). Novel Burung Manyar ditulis tanpa beban dan ada perasaan merdeka disana. Seperti yang dikatakan mas Erwinthon, dalam tulisan-tulisan Romo Mangun kata "merdeka" adalah kata yang paling banyak ditemui.
Pembicara ketiga adalah Bu Binny Buchori, yang dulu sempat dekat dengan Romo Mangun (bukan pacar). Bu Binny dulu adalah mahasiswa yang sering berdiskusi dengan Romo Mangun. Romo Mangun adalah sosok yang mensejajarkan dirinya dengan orang yang menjadi lawan bicara atau diskusi. Bu Binny bercerita tentang strategi Romo Mangun saat itu dalam tindakannya di Kali Code. (kurang memperhatikan) Romo Mangun mendekati Jendral agar bawahannya berfikir untuk tidak langsung "bertindak" terhadap Kali Code. Untuk mengantisipasi "tindakan" ke Kali Code, Romo Mangun juga sudah siap untuk menghubungi BBC. Dan beberapa strategi lainnya (saya kurang memperhatikan waktu itu). Romo Mangun juga pernah mewanti-wanti Bu Binny yang saat itu masih muda untuk tidak mengikuti jejaknya karena di belakang Romo Mangun ada Gereja yang siap melindungi dan menyokong kebutuhan hidupnya. Ya, di belakang Romo Mangun ada Gereja, di belakang mas Singgih ada Magno, di belakang mas Erwinthon ada sapi, di belakang pak Eko Prawoto ada UKDW, lalu di belakang kita (errik, wilfrid dan saya) ???.
Pembicara keempat adalah mas Erwinthon, seorang pelacak karya arsitektur Romo Mangun. Mas Erwinthon sebelumnya belum pernah bertemu dengan Romo Mangun. Saat Romo Mangun meninggal tahun 1999, mas Erwinthon pergi melayat ke Yogyakarta. Dan setelah memegang tangan Romo Mangun, seakan dia mendapat energi untuk melacak jejak karya arsitektur Romo Mangun, ceritanya. Berkali-kali mas Erwinthon pergi ke Yogyakarta untuk mendapat informasi. Menjelajah Cilacap untuk mencari masjid pertamina yang didesain oleh Romo Mangun. Kadang harus bertemu dengan kekecewaan dimana bangunan yang di desain oleh Romo Mangun sudah terbongkar. Pengalaman yang tidak terlupakan yaitu saat mas Erwinthon mengukur berkali-kali goa Maria Sendang Sono. Saat ini mas Erwinthon sedang menyiapkan buku digital mengenai karya arsitektur oleh Romo Mangun. Dia, mas Erwinthon, memberi istilah bahwa dia menyajikan makanan, untuk mengerti rasanya harus dikunyah masing-masing. Maksudnya dia hanya memberi informasi mengenai karya Romo Mangun, untuk lebih banyak tahu dan merasakan karya Romo Mangun harus datang sendiri merasakan dan mengukur bangunan tersebut. Setelah acara selesai dengan sajian makanan yang mengenyangkan, mas Erwinthon mengajak errik, wilfrid dan saya pergi mengobrol dengan Romo Budi (aslinya Rawa Seneng, Temanggung), mas Didit dan istrinya (yang belakangan diketahui alumni UNIKA Soegijapranata) yang datang dari Klaten. Dalam obrolan tersebut mas Erwinthon memiliki keinginan untuk membuat pusat dokumentasi karya Romo Mangun. Di obrolan tersebut juga banyak hal-hal kontroversi yang di utarakan. (sesuai dengan pertanyaan errik di forum diskusi tadi).

Bandung, erwinthon, prof Bakdi, romo Sudiarja, bu Binny














Errik dalam sesi tanya jawab




















Usai mengobrol dengan mas Erwinthon, kami meluncur ke IVAA untuk bertemu mas Yoshi. Setelah sampai disana dan ngaplo sebentar, ternyata mas Yoshi sedang di "utara". Wilfrid menyarankan nongkrong di Klinik Kopi, tanpa ragu errik dan saya menyetujui untuk kesana karena terakhir ke Jogja belum sempat mampir kesana. Setelah sampai disana ternyata banyak yang antri. Ya, kita daftar antrian lalu duduk lesehan dipinggir pembatas railing. Ngobrol ngalor-ngidul tentang Romo Mangun dan glenak-glenik tentang SPEDAGI dan pasar dusun Kelingan. Tiba-tiba ditengah obrolan ditawari minum Nestan, minuman dari sarang semut di Papua. Yang jualan namanya Ines, orang Wonosobo kuliah di farmasi Sanata Dharma. Tidak lama kemudian mas Yoshi dan istrinya mbak Rere datang dengan membawa berkas lembar-lembar ujian mahasiswanya di UII. Wajah mbak Rere seperti terlihat lelah, tapi masih saja menyempatkan waktu untuk ngobrol dengan kami. Banyak obrolan yang berat, bermanfaat dan menyenangkan. Suatu saat nanti harus ngobrol lagi dengan mas Yoshi dan mbak Rere. Tiba giliran saya dan errik untuk mencoba kopi buatan mas Pepeng. Banyak kopi disana, dari cara roasting dan asal biji-biji kopi tersebut didapatkan. Saya dipilihkan oleh mas Pepeng kopi dari Medan, saya lupa namanya (ada kata Blue dinamanya). Setelah dibuatkan dan mendokumentasikan cara penyajiannya kami kembali ngobrol sambil ngopi. Rasa kopi tersebut berasa asing dibanding kopi sekitaran Temanggung, pahit dan asam serta ada manisnya. Rasanya nyaris sama dengan Congyang...hahahahaha.....Kami pulang dari Klinik Kopi sekitar jam 23.00. Berlanjut makan di angkringan sambil ngobrol lagi soal pasar Kelingan. Setelah agak kenyang kami pulang ke kos Wilfrid dan tidur disana.

Yang Jual Nestan, namanya Ines



















Mas Pepeng, at Klinik Kopi















Pagi hari jam 8 kami berangkat ke Imogiri tepatnya di daerah Dlingo. Walaupun kurang tidur, tapi setidaknya sudah tidur dengan nyenyak di kamar kos Wilfrid. Kamar dipenuhi oleh tiga orang yang tidur dengan posisi ikan pindang. Mengingatkan waktu kuliah dulu, kamar kos saya bahkan bisa untuk 5 orang tidur bersama walau sempit. Di Bumi Pemuda Rahayu-nya pak Marco Kusumawijaya kami diterima oleh penjaga disana dengan baik (saya lupa namanya). Baru masuk saja kami sudah ditawari minum dan dibuatkan ketela goreng yang enak dan mengenyangkan. Kami disana hanya foto-foto, ngobrol dengan pak Penjaga sambil ngopi, mengamati hal-hal menarik dan ngaplo. Sebelum kita mau pulang, pak Penjaga menawari kita untuk datang ke perakitan bambu yang sama perilaku pembuatannya dengan ruang serba guna di BPR. Lalu kita kesana di temani oleh pak Penjaga tadi, tapi sebelumnya pak Penjaga tadi meminta orang untuk menjaga BPR. Setelah sampai disana, kami bertemu dengan tukang bambu bernama pak Sakinie. Beliau memperlihatkan desain yang sedang dibuatnya saat itu. Sepertinya bambu tersebut akan digunakan untuk acara jazz gunung di Bromo. Di sana kami juga disuguhi minuman dan makanan sampai Wilfrid terheran-heran dengan warga jogja yang begitu ramah dan selalu menjamu tamu. Perjalanan berlanjut ke Ngibikan.

Kontruksi rangka atap dari bambu




















Ruang Serbaguna di BPR





















Tangga Homestay BPR
















Lorong Homestay BPR




















Maket untuk tukang bambu
















Menggambar di tanah










Merakit bambu















Setelah cukup lama mencari Ngibikan walaupun Wilfrid pernah ke Ngibikan berkali-kali akhirnya kami sampai di pelataran rumah pak Maryono. Disana ada Istrinya pak Maryono sedang bercengkrama dengan tetanga-tetangganya. Kami disambut hangat dan dipersilahkan masuk untuk istirahat sejenak. Jogja saat itu panas sekali, kami dehidrasi tetapi selalu disejukan oleh keramahan orang-orang jogja. Setelah cukup istirahat dan memakan "sajian khas berselera" (halah...copy-paste lagu Yogyakarta) di rumah pak Maryono kami lanjut blusukan untuk belajar. Ngibikan, dusun yang asri dan adem ayem. By the way, Ngibikan salah satu dusun yang mengalami gempa Yogyakarta tahun 2006. Rumah-rumah banyak yang roboh, kata Wilfrid yang sudah pernah ke Ngibikan sebelumnya. Pak Maryono dan pak Eko Prawoto membantu warga Dusun Ngibikan untuk mendesain dan membangun rumah-rumah warga yang roboh dan bahkan hancur. Apa yang dilakukan pak Maryono dan pak Eko Prawoto adalah sepantasnya yang harus dilakukan manusia untuk manusia.
Setelah berjalan muter-muter Dusun Ngibikan, kami berhenti sejenak duduk melepas lelah di halaman depan sebuah rumah. Halaman yang cukup besar dan ditumbuhi banyak pohon. Kami duduk di bawah pohon kelapa yang disitu ada kursi dari bambu, sedang errik seperti biasa duduk di kursi kebesarannya. Cukup lama kami duduk disini, bahkan tiduran dan merasakan sejuknya duduk di bawah pohon. Karena takut terlalu lama di tempat tersebut, kami beranjak dari tempat tersebut dengan berat. Kami berlanjut ke rumah pak Maryono untuk berpamitan pulang dan mengucapkan terimakasih. Saya berlanjut pulang ke Temanggung karena berencana untuk ke Desa Kapencar esok hari. Sebelum pulang kami makan mie instan di sebuah warung karena dalam perjalanan sehari tersebut kami belum makan besar. Dan tidak lupa mengantar errik mengambil sepeda motor yang diparkir di pom bensin Sleman karena ban bocor sebelum menghadiri diskusi di hotel Santika.

Kandang



















Rumah pasca gempa di Ngibikan













Ngaso dibawah pohon kelapa





















Ngaso dibawah pohon kelapa


Komentar

Postingan Populer